MENGULIK KEENGGANAN SISWA LABSKY BERTARUNG DI GELARAN LOMBA PROGRAM OSIS

Topik di atas sengaja diangkat gegara adanya fakta bahwa partisipasi siswa Labsky yang rendah dalam setiap gelaran lomba yang diadakan oleh OSIS padahal jika dicermati kompetensi siswa Labsky pada cabang tertentu memiliki daya saing yang setara dengan sekolah lain bahkan di cabang tertentu kompetensinya di atas rata-rata. Coba cermati peristiwa Bulan Bahasa, Skymun, dan IMF partisipasi mereka teramat rendah sehingga terkesan siswa Labsky hanya sanggup menjadi EO dan jiper untuk bertarung.

Bertarung untuk memenangi gelaran pertandingan tentunya menjadi tantangan tersendiri. Mengatasi tantangan ini butuh persiapan khusus, pelatihan intensif, penerapan strategi guna mencapai target kemenangan. Prosedur tersebut berlaku untuk semua jenis lomba baik itu lomba bidang olahraga, seni, penelitian, dan keterampilan.

Untuk siswa yang bermental juara, prosedur di atas tentunya akan dihadapi dengan antusias, semangat, dan melibatkan hati sebaliknya untuk individu yang mentalnya baru berproses menuju mental juara rasanya perlu pendampingan khusus.

Mari kita telaah lebih detil penyebab ogahnya siswa Labsky terlibat dalam lomba-lomba di Labsky.

  1. Faktor Kelabilan Mental

Petarung tangguh jelas beda dengan petarung pemula atau proses menuju tangguh. Petarung pemula cenderung ragu, bimbang, mudah berubah, tidak tenang baik pada proses latihan dan pertandingan. Umumnya ini terjadi pada peserta Labsky yang berdampak pada hasil yang dicapai. Bercermin pada hasil lomba Skybattle yang membuat kita prihatin salah satu pemicunya adalah kelabilan mental di samping kompetensi, intensitas latihan, dan performa fisik yang memang kalah jauh dibandingkan dengan atlet dari sekolah lain. Kondisi ini berpengaruh kuat pada keinginan siswa Labsky untuk mendaftar sebagai peserta.

  1. Faktor Keterlibatan dalam Kepanitiaan

Atlet Labsky yang sebenarnya potensial akan lebih memilih fokus di kepanitiaan ketika pengurus OSIS melibatkannya dalam kepanitiaan. Tentunya sangat beralasan karena dua hal dikerjakan dalam satu kesatuan waktu akan sangat sia-sia. Satu sisi dituntut sukses sebagai panitia di sisi lain ditekan untuk jadi juara. Pastilah mereka akan memilih zona nyaman. Jadi panitia lebih aman dibandingkan mendaftar sebagai peserta.

  1. Pertimbangan Akademik

Telah dipahami bersama bahwa muara pembelajaran di SMA adalah sukses menembus perguruan tinggi. Pencapaiannya digambarkan dalam hasil nilai akademik. Labschool telah mengisyaratkan itu dari semenjak siswa masuk dalam program MPLS. Tentunya hal ini pun berdampak pada proses pembelajaran yang menuntut siswa harus terstruktur, sistematis, dan masif.

Kondisi ini memantik siswa untuk mendahulukan tuntasnya nilai akademik tinimbang bertarung habis-habisan menjadi juara pada program nonakademik. Keadaan ini diperteguh pula dengan belum adanya jaminan tambahan nilai dari guru terkait mapel yang siswa juarai. Alih-alih mendaftar sebagai peserta lomba, siswa cenderung mencari selamat dengan tuntas di akademik. Fakta di atas pun menjadi lebih memprihatinkan karena siswa yang masuk melalui jalur prestasi memilih mengubur potensinya demi nilai akademik.

  1. Faktor finansial

Bila dicermati setiap gelaran lomba yang dilaksanakan OSIS pastilah meminta uang pendaftaran. Uang pendaftaran ini wajib ditanggung atet sendiri, tak ada pihak yang mendanai. Selepas mendaftar peserta pun harus sibuk latihan guna mencapai prestasi juara bahkan dengan mendatangkan pelatih khusus, siapa yang bayar pelatih ya pasti siswa bersangkutan. Bayangkan jika seorang atlet Labsky terlibat juga di kepanitiaan maka berapa uang yang harus digelontorkan. Sebagai peserta dia harus bayar, sebagai panitia harus bayar, mendatangkan pelatih juga harus bayar. Beban yang terlalu mahal dan berat untuk ditanggung.

Adakah solusi bijak?
Mari kita berpikir bersama agar anugerah Tuhan berupa bakat dapat berkembang bersama tumbuhnya kemampuan berpikir.